Entri Populer

Sabtu, 13 November 2010

PERNIKAHAN MUSLIM DENGAN NON MUSLIM DALAM TAFSIR TEMATIK AL-QUR'AN

ABSTRAK
Pernikahan beda agama merupakan masalah yang serius dalam pergulatan pemikiran bangsa Indonesia antara yang pro dan kontra. Makalah ini menyoroti hukum pernikahan beda agama menurut Muhammadiya dengan menggunakan Tafsir Tematik al-Qur'an, setelah melakukan kajian ayat 221 al-Baqarah dan al-Mâidah ayat 5 serta melihat konteks keindonesiaan, pada akhirnya berkesimpulan bahwa haram hukumnya pernikahan orang Muslim dengan orang yang beda agama (di samping Yahudi dan Nasrani juga agama lainnya), baik bagi pria Muslim maupun wanita Muslim.

Kata Kunci: Nikah, non muslim, Tafsir tematik


Pendahuluan
Hubungan antar umat beragama telah lama menjadi isu yang populer di Indonesia. Popularitas isu ini sebagai konsekuensi dari masyarakat Indonesia yang majmuk, khususnya dari segi agama dan etnis. Karena itu, persoalan hubungan antar umat beragama ini menjadi perhatian dari berbagai kalangan, tidak hanya pemerintah tetapi juga komponen lain dari bangsa ini, sebut saja misalnya, LSM, lembaga keagamaan, baik Islam maupun non Islam dan lain sebagainya.
Muhammadiyah sebagai salah satu lembaga keagamaan yang berbasis Islam yang merupakan bagian dari komponen bangsa ini tertarik juga untuk mencoba ikut mengurai gagasan secara akademis hubungan antar umat beragama. Salah satu persoalan di dalam hubungan antar agama ini adalah persoalan pernikahan Muslim dengan non-Muslim (selanjutnya disebut: pernikahan beda agama). Sesuai dengan jargon Muhammadiyah yang menjadikan al-Qur'an dan al-Sunnah sebagai dasar berpijak, maka perspektif Muhammadiyah dalam melihat pernikahan beda agama ini juga didasarkan pada dua sumber ajaran tersebut.
Ketertarikan Muhammadiyah untuk terlibat dalam diskusi pernikahan beda agama, agaknya merupakan bagian dari sensifitas Muhammadiyah dalam merespon persoalan kewarganegaraan Indonesia yang multi agama dan etnis di satu sisi, dan fakta Islam sebagai agama yang dianut oleh sebagian besar warga negara Indonesia di pihak lain. Dua sisi tersebut dimungkinkan dapat berbenturan satu dengan lainnya. Dengan mendiskusikan persoalan ini, tampaknya Muhammadiyah bermaksud untuk dapat ikut menata problem kewarganegaraan Indonesia yang majemuk itu berjalan tanpa harus berseberangan dengan ajaran agama yang dipahaminya yang agama itu memang menjadi bagian dari sensifitas seorang Muslim.
Sebagaimana diketahui bahwa di samping perintah agama, pernikahan merupakan bagian dari kemanusiaan seseorang. Perwujudan pernikahan seorang Muslim misalnya, dalam batas-batas tertentu memang melampaui batas agamanya ketika ia hidup dalam kemajemukan warga dari aspek agama seperti di Indonesia ini. Dalam kondisi kemajukan seperti itu, seorang Muslim hampir dipastikan sulit untuk menghindari dari persentuhan dan pergaulan dengan orang yang beda agama. Pada posisi seperti ini ketertarikan pria atau wanita Muslim dengan orang yang beda agama dengannya atau sebaliknya, yang berujung pada pernikahan hampir pasti tidak terelakkan. Dengan kata lain, persoalan pernikahan antar agama hampir pasti terjadi pada setiap masyarakat yang majemuk.
Kajian yang dilakukan oleh Muhammadiyah tentang pernikahan beda agama ini, misalnya dapat dilihat dalam Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI) PP Muhammadiyah, Tafsir al-Qur'an Tematik, diterbitkan oleh Pustaka Suara Muhammadiyah, 2000. Buku tafsir ini dibagi menjadi empat bab. Bab pertama membahas tentang prinsip-prinsip hubungan antar umat beragama. Bab kedua, diberi topik menjaga hubungan baik dan kerjasama antar umat beragama. Bab ketiga, mendeskripsikan tentang ahli kitab, sedangkan bab keempat membahas pernikahan beda agama dalam al-Qur'an. Makalah yang singkat ini tidak mencoba mendiskusikan semua topik seperti tertuang dalam buku tafsir tersebut, namun mencoba untuk mendiskusikan bab keempat dari buku tafsir itu, khususnya larangan pernikahan beda agama.
Menurut Tafsir Tematik Al-Qur'an, pernikahan beda agama dapat ditemui dalam tiga surat, yaitu surat al-Baqarah (2): 221 ; surat al-Mumtahanah (60): 10 ; dan surat al-Mâidah (5): 5 . Surat al-Baqarah (2): 221 berbicara tentang ketidakbolehan pria Muslim menikah dengan wanita musyrik, begitu juga sebaliknya ketidakbolehan wanita Muslimah dinikahkan dengan pria musyrik, sedangkan al-Mumtahanah (60): 10, menegaskan bahwa baik pria Muslim maupun wanita Muslimah tidak diperkenankan menikah dengan orang kafir. Adapun surat al-Mâidah (5): 5 membolehkan pria Muslim menikahi wanita ahli kitab tetapi tidak sebaliknya.
Dari tiga surat seperti disebutkan di atas, setidaknya bisa dipilah menjadi dua, yaitu pertama, bagi wanita Muslimah tidak boleh menikah, baik dengan pria musyrik maupun dengan ahli kitab. Adapun kedua, bagi pria Muslim, diberikan pilihan, tidak diperbolehkan menikahi wanita musyrik, sedangkan menikahi wanita ahli kitab diperbolehkan. Di sini, wanita non Muslimah dibedakan antara wanita musyrik dengan ahli kitab.
Untuk mendiskusikan hukum pernikahan beda agama ini, Tafsir Tematik al-Qur'an membahas sosok wanita musyrik dan wanita ahli kitab seperti dikemukakan al-Qur'an pada surat al-Baqarah: 221 dan al-Mâidah: 5. Dua hal ini tampaknya menurut Tafsir Tematik Al-Qur'an, menjadi kata kunci untuk masuk pada pembahasan hukum pernikahan beda agama itu dibolehkan atau diharamkan.

Pernikahan dengan Wanita Musyrik
Membahas pernikahan dengan wanita musyrik ini, Tafsir Tematik al-Qur'an, memuat komentar mufassir kenamaan, yaitu al-Thabari. Al-Thabari, seorang mufassir klasik ini dalam bukunya: Jâmi` al-Bayân fi Tafsîr al-Qur'an, ketika membahas surat al-Baqarah (2): 221, menyebutkan ada tiga pendapat dalam menafsirkan wanita musyrik. Pertama, yang dimaksudkan wanita musyrik di situ adalah mencakup wanita-wanita musyrik dari bangsa Arab dan bangsa lainnya. Namun kemudian ketentuan hukumnya dihapus oleh al-Mâidah (5): 5, yang membolehkan pria Muslim menikah dengan wanita ahli kitab. Kedua, yang dimaksudkan dengan wanita muysrik dalam ayat itu adalah wanita musyrik dari bangsa Arab yang tidak memiliki kitab suci dan menyembah berhala. Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa wanita musyrik dalam ayat ini mencakup semua perempuan yang menganut politheisme dalam segala bentuknya, baik Yahudi, Kristen maupun Majusi. Dari tiga pendapat di atas, al-Thabari sendiri berpendapat bahwa pendapat kedua lebih râjih. Dengan kata lain, kata al-Thabari, wanita dalam al-Baqarah(2): 221 itu harus dibedakan dengan wanita ahli kitab.
Pendapat al-Thabari di atas sesuai dengan asbâb al-nuzulnya. Dalam asbâb al-nuzul dari al-Baqarah: 221 ini dikisahkan bahwa Abdullah b. Rawahah menikah dengan seorang budak perempuan yang telah dimerdekakannya. Perempuan yang dinikahi Ibn Ruwahah ini sebelumnya adalah seorang musyrik Arab. Tindakan salah satu sahabat Nabi ini banyak menjadi pembicaraan di kalangan para sahabat dengan tanggapan yang minor. Tindakan Abdullah ini memang agak menentang arus umum pada waktu itu oleh karena banyak pria Muslim (para sahabat) yang berbeda dengan apa yang dilakukan Abdullah. Namun, al-Qur'an justru membela tindakan Abdullah ini, lalu turunlah ayat 221 surat al-Baqarah tersebut.
Memperhatikan asbâb nuzulnya, seperti dijelaskan di atas, menurut hemat penulis, agaknya ada situasi yang menunjukkan adanya kekhawatiran Nabi atas realitas sahabat-sahabatnya, dimana masih banyak yang menikah dengan wanita musyrik. Dari asbâb al-nuzul ini dapat diketahui bahwa ayat ini agaknya merupakan antisipasi preventif al-Qur'an setelah melihat realitas para sahabat Nabi.
Berdasarkan asbâb al-nuzul ayat 221 surat al-Baqarah di atas, wanita musyrik yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah wanita musyrik yang hidup pada zaman Nabi yang tidak beragama, yaitu wanita penyembah berhala dan tidak memiliki kitab suci. Pelarangan ini tampaknya dapat dipahami karena situasi waktu itu, khususnya bagi orang Islam masih dalam situasi konsolidasi sebagai komunitas yang baru tumbuh dalam waktu yang belum terlalu lama. Ayat ini turun ketika Nabi belum lama menjadi pemimpin kota Madinah. Tampaknya, Nabi sebagai pemegang otoritas merasa harus melakukan intervensi terhadap persoalan pernikahan orang Islam menjadi bagian dari tugas kekhalifannya. Di sini, Nabi menjalankan dua fungsi sekaligus, yaitu sebagai pemimpin masyarakat Madinah dan tugas kenabian serta kerasulannya untuk membimbing umat Islam dengan cara mempertahankan keutuhan umat Islam.
Melalui penegasan seperti dijelaskan secara tekstual dalam surat al-Baqarah: 221 di atas, pernikahan beda agama tidak begitu menjadi masalah ketika Nabi masih hidup oleh karena ketaatan kepada Nabi sangat tinggi. Namun, pemahaman ayat ini menjadi masalah ketika orang Islam telah berinteraksi dengan berbagai komponen bangsa lain pasca perluasan wilayah yang terjadi di dunia Islam, lebih-lebih masyarakat dewasa ini sebagai bentuk pergaulan yang telah mengalami globalisasi, hampir dipastikan sulit untuk menghindari interaksi dengan orang yang beda agama. Oleh karena itu, ada pertanyaan, apakah wanita muysrik seperti yang disebut dalam surat al-Baqarah: 221 itu bisa disamakan dengan wanita non Islam yang hidup dewasa ini, yang situsasinya berbeda dengan masa Nabi? Dalam bebera kasus, pernikahan beda agama terjadi karena murni faktor kemanusiaan dari kedua belah pihak. Di sini, pemahaman ayat menjadi persoalan, dan dipihak lain, pemegang otoritas penafsiran, dalam hal ini Nabi telah wafat. Oleh karena itu, pluralitas pemahaman ayat tersebut menjadi sulit untuk dihindari kemunculannya. Meski demikian, mayoritas ulama tidak memperkenankan seorang lelaki muslim menikah dengan wanita musyrikah.

Pernikahan dengan Ahli Kitab
Pembahasan pernikahan dengan ahli kitab disinggung dalam surat al-Mâidah (5) ayat 5. Ayat ini turun 7 tahun setelah turunnya surat al-Baqarah (2): 221. Berdasarkan pemahaman tekstual ayat ini, bagi pria Muslim, pernikahan dengan wanita ahli kitab diperbolehkan. Al-Thabari, seperti dikutip Tafsir Tematik al-Qur'an, mengatakan bahwa wanita ahli kitab tidak termasuk wanita musyrik sehingga al-Mâidah ayat 5, seperti disinggung di muka tidak bertentangan dengan al-Baqarah: 221.
Ibn Umar, salah satu putra Umar b. Khattab, berpendapat bahwa ahli kitab itu sebagai penganut kemusyrikan yang lebih besar daripada kemusyrikan yang dianut bangsa Arab. Apakah statemen Ibn Umar ini berarti ia mengharamkan pernikahan dengan ahli kitab? Mengomentari pernyataan Ibn b. Umar ini, al-Jashshas, salah seorang mufassir kesohor bermazhab Hanafi, seperti dikutip Tafsir Tematik al-Qur'an, menyatakan bahwa sebetulnya Ibn Umar tidak sampai mengharamkan, tetapi tidak senang melihat orang Islam menikah dengan ahli kitab.
Dalam satu riwayat, Umar b. Khattab, ketika mendengar karibnya Huzaifah menikah dengan seorang wanita Yahudi, Umar meminta dengan hormat kepada Huzaifah untuk dengan ikhlas mau menceraikan istrinya yang non Islam itu. Ketika ditanya, apakah permohonan Umar kepada Huzaifah itu menunjukkan bahwa Umar berpendat bahwa menikah dengan wanita ahli kitab itu haram? Saat itu, Umar b. Khattab, yang ketika memohon sedang memangku jabatan sebagai khalifah yang kedua dari khulafa' rasyidun itu, menyatakan: tidak, tetapi saya khawatir kalian akan meninggalkan wanita beriman dan lebih memilih mereka. Permintaan Umar b. Khattab ini nampak ada unsur sosiologis dalam rangka kepentingan wanita Muslimah. Seperti dilakukan oleh Nabi, Umar b. Khattab memang memiliki sensifitas untuk melindungi umat Islam.
Wanita ahli kitab yang boleh dinikahi seperti dijelaskan dalam ayat di atas, adalah wanita yang menjaga kehormatan dan memiliki kitab, yaitu Yahudi dan Kristen. Dengan kata lain, Muhammadiyah berkesimpulan bahwa ahli kitab seperti disinggung al-Qur'an itu memang selalu terkait dengan umat Yahudi dan umat Kristen. Temuan ini sesuai dengan temuan Muahammad Ghalib dalam disertasinya, bahwa ahli kitab yang disinggung al-Qur'an itu adalah Yahudi dan Nasrani. Berdasarkan pada ciri ini, yaitu wanita ahli kitab itu adalah wanita non Muslim yang memiliki kitab suci, dalam hal ini dari kalangan Yahudi dan Nasrani, maka wanita non Islam selain Kristen dan Yahudi tidak boleh dinikahi.

Alasan Larangan Pernikahan Beda Agama
Pada paparan-paparan seperti dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa menurut Tafsir Tematik al-Qur'an, al-Qur'an melarang seorang Muslim, baik pria maupun wanita menikah dengan orang musyrik. Tafsir Tematik al-Qur'an berpendapat bahwa surat al-Baqarah (2): 221 telah menyebutkan apa yang biasa dikatakan sebagai alasan (`illah) penetapan larangan pernikahan dengan orang musyrik, yaitu karena mengajak ke neraka.
Kata musyrik dalam ayat tersebut, menurut analisis Tafsir Tematik al-Qur'an, dengan demikian, merujuk pada agama. Alasan kesimpulan ini didasarkan pada `iilah penetapan pelarangan wanita dan pria musyrik tidak boleh dinikahi, menurut ayat itu, karena akan mengajak pasangan hidupnya ke neraka, yang berupa kekafiran kepada Allah dan Rasul-Nya. Ajakan mereka ini secara diametral bertentangan dengan ajakan Allah yang mengajak kepada surga dan ampunan.
Pernikahan, kata Rasyid Ridha, seperti dikutip Tafsir Tematik al-Qur'an, merupakan faktor yang memberikan ruang dan mendorong orang untuk bersikap toleran terhadap pasangannya dalam banyak hal. Setiap sikap mempermudah dan toleran terhadap pria dan wanita musyrik itu dilarang dan harus dihindari dampak buruknya, meskipun pendapat Ridha ini tidak disetujui oleh al-Jashshas sebagai alasan utama. Kata al-Jashshas, alasan seperti dikemukakan Ridha ini bukan `illah mujibah tetapi `illah penyerta semata bagi haramnya pernikahan dengan wanita dan pria musyrik. Menurutnya, sebab dilarangnya pernikahan itu adalah kemusyrikannya yang dianut oleh orang musyrik sendiri. Sebab kalau mengajak ke neraka itu dijadikan sebagai `illah, al-Qur'an sendiri memperbolehkan pria Muslim menikahi wanita ahli kitab. Dari bantahan ini tampaknya al-Jashshash menyamakan antara wanita ahli kitab dengan wanita musyrik.
Tafsir Tematik al-Qur'an sendiri agaknya menerjemahkan mengajak ke neraka itu sebagai memiliki nuansa agama. Kesimpulan ini, menurut analisis Tafsir Tematik al-Qur'an, karena orang-orang yang dilarang untuk dinikahi itu dalam al-Qur'an disebut dengan menggunakan identitas agama. Di samping itu, ketika menetapkan aturan larangan pernikahan dalam surat al-Baqarah: 221, kitab suci itu menggiringnya dengan pernyataan yang khas agama: "mereka mengajak ke neraka", yang kemudian mereka dipahami sebagai alasan penyebab dan penyerta, seperti telah dikemukakan di muka.
Meskipun berdasarkan pemahaman tekstual atas al-Mâidah: 5 bahwa pria Muslim diperbolehkan menikai wanita ahli kitab, namun karena al-Qur'an, disimpulkan Tafsir Tematik al-Qur'an, menyebutkan larangan itu terkait sebagai motif agama, maka dalam kontek Indonesia, menurut Tafsir Tematik al-Qur'an, bila pernikahan beda agama diperbolehkan, akan mengakibatkan rusaknya kerukunan antar agama yang telah diupayakan sedemikian rupa. Berdasarkan perspektif ini, pelarangan oleh MUI dan hukum positif, dalam perspektif syari`ah dapat dibenarkan. Tampaknya, Tafsir Tematik al-Qur'an berpendapat bahwa alasan pelarangan bukan semata karena berangkat persoalan agama semata, tetapi juga pernikahan itu sudah menjadi urusan publik.

Kesimpulan
Untuk menutup tulisan yang singkat ini, perlu disampaikan kesimpulan hukum pernikahan beda agama menurut Muhammadiyah. Seperti dikemukakan dalam uaraian-uraian di muka, bahwa Tafsir Tematik al-Qur'an, setelah melakukan kajian ayat 221 al-Baqarah dan al-Mâidah ayat 5 serta melihat konteks keindonesiaan, pada akhirnya berkesimpulan bahwa haram hukumnya pernikahan orang Muslim dengan orang yang beda agama (di samping Yahudi dan Nasrani juga agama lainnya), baik bagi pria Muslim maupun wanita Muslim. Analisis-analisis yang dikemukan untuk memperkuat kesimpulannya, tafsir ini melakukan analisis secara mendalam atas ayat yang melarang pernikahan beda agama, seperti telah dipaparkan di muka. Wallahu A`lam bi al-Shawab.
Daftar Pustaka
Ismatu Ropi, "Wacana Inklusif Ahl al-Kitab", dalam Paramadina: Jurnal Pemikiran Islam , Volume 1, Nomor 2 1999.

Al-Jashshash, Ahkâm al-Qur'an (Beirut: Dar al-Kitab al-`Araby, 1335 H).

Muhammad Ghalib, Ahl al-Kitab: Makna dan Cakupannya (Jakarta: Paramadina, 1998).

Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, VI.

MTPPI, Tafsir Tematik al-Qur'an (Jogjakarta: Pustaka Suara Muhammadiyah, 2000).

Nurcholish Madjid, dkk., Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2004).

Ruslani, Masyarakat Kitab dan Dialog Antar Agama (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2000).

Al-Tabari, Jâmi` al-Bayân fi Tafsîr al-Qur'an (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), II.

Diskusi

Diskusi ditinjau dari tujuannya dibedakan menjadi : (1). The Social Problem Meeting, merupakan metode pembelajaran dengan tujuan berbincang-bincang menyelesaikan masalah sosial di lingkungan; (2). The Open ended Meeting, berbincang bincang mengenai masalah apa saja yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari dimana kita berada; (3). The Educational Diagnosis Meeting, berbincang-bincang mengenai tugas/pelajaran untuk saling mengoreksi pemahaman agar lebih baik.

Ditinjau dari Bentuknya, dibedakan menjadi :
1. Whole Group, merupakan bentuk diskusi kelompok besar (pleno, klasikal,paripurna dsb.)

2. Buz Group, merupakan diskusi kelompok kecil yang terdiri dari (4-5) orang.

3. Panel, merupakan diskusi kelompok kecil (3-6) orang yang mendiskusikan objek tertentu dengan cara duduk melingkar yang dipimpin oleh seorang moderator. Jika dalam diskusi tersebut melibatkan partisipasi audience/pengunjung disebut panel forum.

4. Syndicate Group, merupakan bentuk diskusi dengan cara membagi kelas menjadi beberapa kelompok kecil yang terdiri dari (3-6) orang yang masing-masing melakukan tugas-tugas yang berbeda.

5. Brainstorming, merupakan diskusi iuran pendapat, yakni kelompok menyumbangkan ide baru tanpa dinilai, dikritik, dianalisis yang dilaksanakan
dengan cepat (waktu pendek).

6. Simposium, merupakan bentuk diskusi yang dilaksanakan dengan membahas berbagai aspek dengan subjek tertentu. Dalam kegiatan ini
sering menggunakan sidang paralel, karena ada beberapa orang penyaji. Setiap penyaji menyajikan karyanya dalam waktu 5-20 menit diikuti dengan sanggahan dan pertanyaan dari audience/peserta. Bahasan dan sanggahan dirumuskan oleh panitia sebagai hasil simposium. Jika simposium melibatkan partisipasi aktif pengunjung disebut simposium forum. 7. Colloqium, strategi diskusi yang dilakukan dengan melibatkan satu atau beberapa nara sumber (manusia sumber) yang berusaha menjawab pertanyaan dari audience. Audience menginterview nara sumber selanjutnya diteruskan dengan mengundang pertanyaan dari peserta (audience) lain Topik dalam diskusi ini adalah topik baru sehingga tujuan utama dari diskusi ini adalah ingin memperoleh informasi dari tangan pertama.

8. Informal Debate, merupakan diskusi dengan cara membagi kelas menjadi 2 kelompok yang pro dan kontra yang dalam diskusi ini diikuti dengan
tangkisan dengan tata tertib yang longgar agar diperoleh kajian yang dimensi dan kedalamannya tinggi. Selanjutnya bila penyelesaian masalah tersebut dilakukan secara sistematis disebut diskusi informal. Adapun langkah dalam diskusi informal adalah : (1). menyampaikan problema; (2). pengumpulan data; (3). alternatif penyelesaian; (4). memlilih cara penyelesaian yang terbaik.

9. Fish Bowl, merupakan diskuasi dengan beberapa orang peserta dipimpin oleh seorang ketua mengadakan diskusi untuk mengambil keputusan. Diskusi model ini biasanya diatur dengan tempat duduk melingkar dengan 2 atau 3 kursi kosong menghadap peserta diskusi. Kelompok pendengar duduk mengelilingi kelompok diskusi sehingga seolah-olah peserta melihat ikan dalam mangkok.

10. Seminar, merupakan kegiatan diskusi yang banyak dilakukan dalam pembelajaran. Seminar pada umumnya merupakan pertemuan untuk
membahas masalah tertentu dengan prasaran serta tanggapan melalui diskusi dan pengkajian untuk mendapatkan suatu konsensus/keputusan
bersama. Masalah yang dibahas pada umumnya terbatas dan spesifik/tertentu, bersifat ilmiah dan subject approach.

11. Lokakarya/widya karya, merupakan pengkajian masalah tertentu melalui pertemuan dengan penyajian prasaran dan tanggapan serta diskusi secara teknis mendalam. Dalam diskusi ini bila perlu diikuti dengan demonstrasi/peragaan masalah tersebut. Peserta lokakarya pada umumnya
para ahli. Tujuannya mendapatkan konsensus/keputusuan bersama mengenai masalah tersebut. Telaahnya : Subject matter approach.

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)


Mata Pelajaran          : Sejarah Kebudayaan Islam
Kelas / Semester         : VII / I     
Alokasi Waktu           : 2 x 40 menit

I.         Standar Kompetensi      : 1. Memahami Sejarah Kebudayaan Islam
II.      Kompetensi Dasar          : 1.1 Menjelaskan Pengertian Kebudayaan Islam
III.   Indikator                         : -    Menjelaskan Pengertian Sejarah
-          Menjelaskan Pengertian Kebudayaan
-          Menjelaskan Pengertian Kebudayaan Islam
-          Menjelaskan tentang Sejarah Kebudayaan Islam
IV.   Tujuan Pembelajaran    :  Setelah proses belajar mengajar selesai diharapkan siswa dapat ;
-          Menjelaskan pengertian Sejarah
-          Menjelaskan pengertian Kebudayaan
-          Menjelaskan pengertian Kebudayaan Islam
-          Menjelaskan tentang Sejarah Kebudayaan Islam
V.      Materi Pembelajaran     :
1.      Pengertian Sejarah
Sejarah adalah pengetahuan tentang seluruh perbuatan manusia pada masa lalu yang bisa kita jadikan pelajaran di masa kini dan yang akan dating.
2.      Pengertian Kebudayaan
Kebudayaan berasal dari kata budaya (bahasa sangsekerta) dan tersusun dari dua suku kata Budhi dan Daya. Budhi adalah akal dan Daya (kekuatan) budaya berarti kekuatan akal manusia atau bisa didefinisikan sebagai manifestasi dari cipta, rasa dan karsa manusia. Menurut kamus besar bahasa Indonesia hal. 149 disebutkan bahwa kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan kesenian dan adat istiadat.
3.      Pegertian Kebudayaan Islam
Kebudayaan Islam adalah kebudayaan masyarakat yang menganut agama Islam dan ajaran-ajaran Islam yang menjadi sebuah kebiasaan seorang muslim atau segolongan kaum muslimin.
4.      Pengertian Sejarah Kebudayaan Islam
Sejarah Kebudayaan Islam adalah kejadian-kejadian atau peristiwa yang terjadi di masa silam yang diabadikan di mana pada saat itu Islam merupakan pokok kekuatan dan sebab timbulnya suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks.


VI.   Metode Pembelajaran    :
1.      Ceramah
Guru menyampaikan materi pembelajaran kepada siswa yang harus dikuasai oleh setiap siswa.
2.      Tanya Jawab
Cara penyajian pelajaran dalam bentuk pertanyaan yang harus dijawab, terutama dari guru kepada siswa, tetapi dapat pula dari siswa kepada guru dimaksudkan untuk merangsang berpikir dan dapat menguasai materi dengan jelas
3.      Penugasan
Guru memberi tugas tertentu kepada siswa dalam waktu yang telah ditentukan terkait materi yang telah disampaikan untuk merangsang anak aktif belajar baik secara individu atau kelompok

VII.Langkah Pembelajaran :
1.      Kegiatan Awal
a.       Guru / siswa memberi salam dan memulai pelajaran dengan membaca basmallah dan siswa menyiapkan catatan dan buku pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam
b.      Guru menyampaikan kompetensi dasar dan indikator yang harus dikuasai siswa
2.      Kegiatan Inti
a.       Eksplorasi
·         Siswa mengkaji penjelasan guru dari buku sumber pelajaran tentang pengertian Sejarah Kebudayaan Islam (SKI).
b.      Konsolidasi
·         Setiap penjelasan, guru dan siswa senantiasa mengadakan tanya jawab sehingga benar-benar memahami materi yang dipelajari.
3.      Kegiatan Akhir / Penutup
a.       Menyimpulkan materi bersama siswa
b.      Guru memberikan post test dengan pertanyaan-pertanyaan terkait materi yang telah dipelajari
c.       Siswa diberi tugas mandiri terstruktur,
Sebutkan contoh kebudayaan Islam yang berada di Indonesia
d.      Mengakhiri / menutup pelajaran dengan membaca hamdallah

VIII.       Sumber Belajar         :
1.      Buku Tonggak Sejarah Kebudayaan Islam 1 kelas VII, Terbitan : Tiga Serangkai, Tahun : 2008, Karangan : H. Darsono, T. Ibrahim.
2.      Lembar Kegiatan Siswa Sejarah Kebudayaan Islam, Terbitan : Swadaya Murni
3.      Rusditik.multiply.com ’journal’ kumpulan makalah Islami.





IX.   Penilaian                         :
Pertanyaan tertulis
No.
Butir-butir soal
Kunci jawaban
Skor
1
Jelaskan pengertian Sejarah!
Pengetahuan tentang seluruh perbuatan manusia pada masa lalu yang bisa kita jadikan pelajaran di masa kini dan yang akan datang

20
2
Jelaskan pengertian Kebudayaan!
Kebudayaan berasal dari kata budaya (bahasa sangsekerta) dan tersusun dari dua suku kata Budhi dan Daya. Budhi adalah akal dan Daya (kekuatan) budaya berarti kekuatan akal manusia atau bisa didefinisikan sebagai manifestasi dari cipta, rasa dan karsa manusia. Menurut kamus besar bahasa Indonesia hal. 149 disebutkan bahwa kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan kesenian dan adat istiadat.

20
3
Jelaskan pengertian Kebudayaan Islam!
Kebudayaan Islam adalah kebudayaan masyarakat yang menganut agama Islam dan ajaran-ajaran Islam yang menjadi sebuah kebiasaan seorang muslim atau segolongan kaum muslimin.


20

4
Jelaskan pengertian Sejarah Kebudayaan Islam!
Kejadian-kejadian atau peristiwa yang terjadi di masa silam yang diabadikan di mana pada saat itu islam merupakan pokok kekuatan dan sebab timbulnya suatu kebudayaan yang mempunyai system teknologi, seni bangunan, seni rupa, system kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks.



20
5
Sebutkan pengaruh terjadinya kebudayaan Islam!
Pengaruh terjadinya sebuah kebudayaan Islam adalah :
a.       Kebahasaan
b.      Perpindahan Agama
c.       Munculnya kelompok non-arab
d.      Perpecahan kesatuan Islam


20
Jumlah
100

X.      Rumusan Penilaian        :